Penggunaan Bahasa Dalam
Sastra
Balai bahasa
Yogya belum lama ini menggelar sarasehan kebahasaan dan kesastraan Indonesia. Dalam sarasehan ini disampaikan tentang memahami dan menulis sastra. Kegiatan
menampilkan dua pembicara, Bramantio
dan Ono W. Purba.
Menurut Ono W.Purba, menjadi penulis adalah
suatu pilihan dalam hidup. Menjadi penulis
mempunyai tantangan yang tinggi apalagi keberadaan penulisan sering kali
dipandang selah mata oleh sebagian masyarakat yang mengukur semua dengan
formalitas dan materi.
Tidak mudah
untuk menjadi seorang penulis, diperlukan kecermatan dan ketelitian untuk
merangkai kaliamat menjadi sebuah alur
cerita. Untuk menjadi seorang penulis harus rajin membaca karena membaca adalah
modal terpenting menjadi seseorang untuk menjadi penulis.
Membaca,
terutama membaca karya sastra itu tidak semudah kita duduk lalu berdiri lagi
kemudian meletakkan apa yang kita baca.
“Membaca sebuah karya sastra, diperlukan keterbukaan jiwa dan pemahaman. Saat
membaca sebuah karya sastra kita tidak menjadi diri sendiri tetapi kita harus
bisa memahami apa maksud si penulis”.ujar kritikus sastra, Bramantio.
Untuk membaca
sebuah karya sastra saat ini tidaklah harus membeli buku yang bisa dikatakan
mempunyai harga yang mahal. Membaca sebuah karya sastra apa saja, bisa
dilakukan dengan biaya yang murah bahkan
gratis. Cukup berlangganan internet atau
mendatangi warung internet sudah bisa mendapatkan bacaan bacaan yang bermutu. Baik secara cerita ataupun bahasa yang
digunakan.
Disinggung soal
penggunaan bahasa alay atau bahasa anak muda saat ini, baik Ono maupun
Bramantio tidak menampik hal itu sebagai dinamika dalam perkembangan seni
berbahasa, tetapi apabila ini tidak segera ditekan ditakutkan akan merusak
tatanan bahasa Indonesia yang baku. “kita tidak bisa menghentikanataupun
melarang penggunanan bahasa gaul tersebut tetapi yang kita bisa lakukan untuk
menyelamatkan bahasa Indonesia adalah mengelontor media dengan penggunaan
bahasa yang baku.” Tutur Ono W.Purba. (Kris)